Senin, 29 Agustus 2011

skripsi filariasis


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. (Depkes, 2000)
Pada tahun 2004, diperkirakan 1/5 penduduk dunia atau 1,1 milyar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis. Penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial dan penurunan produktivitas kerja penderita, keluarga dan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi  yang besar. (Notoatmodjo 2006:48)
WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global ( The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020 ). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan missal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten percontohan. Filariasis mudah menular, kriteria penularan penyakit ini adalah jika ditemukan mikrofilarial rate ≥ 1% pada sample darah penduduk di sekitar kasus elephantiasis, atau adanya dua atau lebih kasus elephantiasis di suatu wilayah pada jarak terbang nyamuk yang mempunyai riwayat menetap bersama atau berdekatan pada suatu wilayah selama lebih dari satu tahun. Berdasarkan ketentuan WHO, jika ditemukan mikrofilarial rate ≥ 1% pada satu wilayah maka daerah tersebut dinyatakan endemis dan harus segera diberikan pengobatan secara masal selama 5 tahun berturut-turut. (Depkes, 2006)
Filaria limfatik yang terdiri dari Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia. timori merupakan spesies cacing filaria yang ditemukan di dunia. Penyebarannya tergantung  dari spesiesnya. Wuchereria bancrofti tersebar luas di berbagai negara tropis dan subtropis, menyebar mulai dari Spanyol sampai di Brisbane, Afrika dan Asia (Jepang, Taiwan, India, Cina, Filippina, Indonesia) dan negara-negara di Pasifik Barat (Sudomo, 2008).
Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,  Nusa Tenggara, dan Papua,  baik perkotaan maupun pedesaan. Kasus di pedesaan banyak ditemukan di kawasan Indonesia bagian timur, sedangkan untuk di perkotaan banyak ditemukan di daerah seperti, Bekasi, Tangerang, Pekalongan, dan Lebak (Banten). Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata Mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena nyamuk penularnya tersebar luas.  (Depkes, 2006).
Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya dilaporkan oleh 42% Puskesmas dari 7.221 Puskesmas. Tingkat endemisitas filariasis di Indonesia berdasarkan hasil survai darah jari tahun 1999 masih tinggi dengan microfilaria (Mf) rate 3,1% (0,5-19,64%). Berdasarkan survei untuk pemeriksan mikroskopis pada desa dengan jumlah penderita terbanyak pada tahun 2002-2005, terutama di Sumatera dan Kalimantan, telah teridentifikasi 84 Kabupaten/Kota dengan microfilaria rate 1% atau lebih. Data tersebut menggambarkan bahwa seluruh daerah di Sumatera dan Kalimantan merupakan daerah endemis filariasis. Sampai dengan tahun 2004 di Indonesia diperkirakan 6 juta orang terinfeksi filariasis dan dilaporkan lebih dari 8.000 orang di antaranya menderita kronis filariasis terutama di pedesaan. (Depkes, 2006)
Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk infektif larva cacing filaria, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada  fase lanjut terjadi kerusakan saluran kelenjar limfe, kerusakan katup saluran limfe, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit. (Nasry, 2006)
Secara keseluruhan jumlah penderita filariasis di Indonesia sampai dengan tahun 2009 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2007 ada 11.473 dan pada tahun 2008 ada 11.699 kemudian meningkat menjadi 11.914 pada tahun 2009. Ada tiga  propinsi di Indonesia dengan kasus terbanyak berturut-turut, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. (Profil Kesehatan Indonesia,  2009)
Pada tanggal 8 April 2002 Menteri Kesehatan Republik Indonesia telah mencanangkan dimulainya eliminasi penyakit Kaki Gajah di Indonesia dan telah menetapkan eliminasi Kaki Gajah sebagai salah satu program prioritas. Sebagai pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomer : 1582/MENKES/SK/XI/2005 Tanggal 18 Nopember 2005 (Suara Merdeka, 2009)
Jumlah  kasus  Filariasis  di  Provinsi  Jawa  Tengah  dari  tahun  ke  tahun  semakin bertambah.  Secara  kumulatif,  jumlah  kasus penemuan penderita  Filariasis  pada  tahun  2007  sebanyak  343 penderita, pada tahun 2008 sebanyak 349 penderita dan tahun 2009 sebanyak 358 penderita.  Untuk  tahun  2009  yang  melaporkan  adanya  penderita sebanyak  26  kabupaten/kota, 130 kecamatan dan  203 desa.  Pada  tahun  2009  terdapat  2  (dua) kabupaten/kota  yang  dinyatakan endemis  Filariasis  yaitu  :  Kota  Pekalongan  dan  Kabupaten Pekalongan (Profil Kesehatan Jateng, 2009)
Pada daerah yang dinyatakan endemisitas filariasis maka dilakukan kegiatan pengobatan massal kepada seluruh penduduk di daerah tersebut dengan cara minum obat setahun sekali selama minimal 5 tahun berturut-turut sebagai upaya menurunkan angka microfilaria rate menjadi < 1% dan mengeliminasi filariasis. Tahun ini Pemerintah kota Pekalongan mencanangkan program eliminasi filariasis untuk mencegah bertambahnya penderita penyakit ini. Yakni mengupayakan memotong rantai penularan penyakit ini agar yang lain tidak tertular. Program eliminasi sudah dilaksanakan dari tahun 2008 namun angka penderita filariasis semakin banyak, oleh karena itu pemerintah kota pekalongan melakukan ulang program eliminasi filariasis pada tahun 2011.
Enam kelurahan di Kota Pekalongan dinyatakan sebagai daerah endemis kaki gajah atau filariasis.  Sebanyak 25 warga di enam daerah endemis ditemukan menderita filariasis sepanjang 2004-2011 yang merupakan kasus filariasis kronis. Dari catatan Dinas Kesehatan Kota Pekalongan, enam kelurahan tersebut adalah Tegalrejo, Bumirejo, Pasirsari, Pabean, Bandengan dan Panjang. Selain kasus kronis juga terdapat kasus klinis akut yang di dapatkan dari hasil pemeriksaan darah pada 14 ribu warga di 28 kelurahan Kota Pekalongan, Dari hasil pemeriksaan tersebut dinyatakan 179 orang positif mengidap filariasis. Dari sebaran kasus klinis akut filariasis tahun 2004-2010 di Kota Pekalongan menunjukkan, Kelurahan Bumirejo dan Bandengan tercatat sebagai daerah dengan angka prevalensi tinggi. Di Kelurahan Bumirejo tercatat ada 38 penderita kaki gajah,  5 diantaranya kronis dan 33 klinis akut. Sedangkan di Kelurahan Bandengan tercatat 21 penderita kaki gajah. Dari jumlah tersebut,  dua di antaranya kronis. Dan 19 lainnya klinis akut. (Dinkes, 2011)
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan pada bulan april 2011 terdapat 2 penderita filariasis kronis dalam satu desa di wilayah kerja puskesmas kusuma bangsa yaitu di desa Panjang wetan. Ternyata ada beberapa faktor yang sangat berperan pada penularan kasus filariasis ini, antara lain seperti lingkungan di wilayah kerja puskesmas kusuma bangsa yang masih banyak ditemui lobang /lagon bekas yang berisi air dan ditumbuhi oleh tumbuhan air (eceng gondok). faktor pekerjaan masyarakat  seperti nelayan yang menginap dilaut untuk mencari ikan dan daerah ini merupakan daerah yang berdekatan dengan pantai dan aliran sungai
Untuk itu penulis berminat melakukan penelitian tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Kusuma Bangsa kota Pekalongan tahun 2011.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang, maka peneliti dapat merumuskan masalah penelitian yaitu ” Apakah ada kesesuaian faktor resiko penyakit filariasis dengan kejadian filariasis di wilayah kerja puskesmas kusuma bangsa kota pekalongan tahun 2011?

C.    Tujuan Penelitian
1.   Tujuan Umum 
Mengetahui faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Kusuma Bangsa Kota Pekalongan
2.   Tujuan Khusus
a.    Mengetahui Karakteristik Nelayan(umur, pendidikan)
b.   Mengetahui faktor kebiasaan dan perilaku yang berpengaruh dalam penularan filariasis di wilayah kerja puskesmas kusuma bangsa
c.    Mengetahui faktor pekerjaan yang beresiko dalam penularan filariasis di wilayah kerja puskesmas kusuma bangsa

D.    Manfaat Penelitian
1.      Bagi Dinkes Kota Pekalongan
Sebagai bahan masukan dalam proses pengambilan kebijakan dalam pemberantasan filariasis.
2.      Bagi Puskesmas Kusuma Bangsa Kota Pekalongan
Sebagai informasi berkaitan dengan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian filariasis sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Puskesmas kusuma bangsa kota Pekalongan dalam program penanggulangan filariasis.
3.      Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat dalam meningkatkan perilaku hidup sehat terhadap pencegahan penyakit filariasis dan mematuhi pengobatan massal secara berkala terhadap pemberantasan filariasis.
4.      Bagi Ilmu Keperawatan
  Sebagai sumber informasi bahan kepustakaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan di dalam bidang Kesehatan Lingkungan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.      Filariasis
1.         Pengertian
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronik
Masa inkubasi penyakit ini cukup lama lebih kurang satu tahun.Sedangkan penularan parasit terjadi melalui vektor nyamuk sebagai hospes perantara, dan manusia atau hewan kera dan anjing sebagai hospes definitive.Periodisitas beradanya mikrofilaria didalam darah tepi bergantung pada spesies. Periodesitas tersebut menunjukkan adanya filariadidalam darah tepi sehingga mudah terdeteksi (Depkes RI, 2005).
2.         Etiologi
 Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening.Anak cacing yang disebut mikrofilaria, hidup dalam darah. Mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari.
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu:
a.    Wuchereria bancrofti
b.    Brugia malayi
c.    Brugia timori
Cacing filarial ini termasuk family filaridae, yang bentuknya langsing dan ditemukan di dalam sistem peredaran darah limfe,otot,jaringan ikat atau rongga serosa pada vertebrata. Cacing bentuk dewasa dapat ditemukan pada pembuluh dan jaringan limfe pasien (Aru dkk, 2006)
a)        Wuchereria bancrofti
Periodisitas keberadaan mikrofilarial dalam darah tepi tergantung spesies. Mikrofilarial W. bancrofti pada belahan bumi selatan termasuk Indonesia, umumnya ditemukan pada malam hari (nokturna) sedangkan didaerah pasifik bersifat subperiodik diurnal. Parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus di daerah perkotaan dan nyamuk anopheles serta nyamuk Aedes sebagai vector didaerah pedesaan. Daur hidup parasit ini sangat panjang. Pertumbuhannya dalam tubuh nyamuk sekitar dua minggu dan pada manusia diduga selama 7 bulan. Mikrofilaria yang terisap nyamuk akan masuk ke lambung, melepaskan kulitnya, lalu menembus dindingnya untuk bersarang pada otot thorak dan membentuk larva stadium I.larva stadium I bertukar kulit dua kali berturut-turut menjadi larva stadium II kemudian larva stadium III yang sangat aktif. Bentuk aktif ini masuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat. Larva mengalami pergantian kulit dan tumbuh sebagai larva stadium IV dan stadium V atau cacing dewasa
b)        B.malayi dan B.timori
Mikrofilaria B.malayi mempunyai periodisitas nokturna dan nonperiodik sedangkan B.timori bersifat nukturna. B.malayi yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris. B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh nyamuk mansonis, B.timori ditularkan oleh nyamuk A. barbirostris. Masa pertumbuhan parasit ini dalam tubuh nyamuk sekitar 10 hari dan dalam tubuh manusia kurang lebih 3 bulan. Fase perkembangan kedua parasit ini sama dengan perkembangan W. bancrofti (Arief dkk,1999)
Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah.

(1)     Makrofilaria
Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar.
(2)     Mikrofilaria
Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 µm x 8 µm dan mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat dibedakan berdasarkan : ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.
(3)     Larva Dalam Tubuh Nyamuk
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung dan melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 µm x 10-17 µm, dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300 µm x 15-30 µm, dengan ekor tumpul atau memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8 – 10 pada spesies Brugia atau hari 10 – 14 pada spesies Wuchereria, larva tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 µm x 20 µm. Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini merupakan cacing infektif. (Depkes, 2006)
3.         Vektor Filariasis
Di Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus, yaitu : Mansonia (Ma. uniformis, Ma. indiana, Ma. dives, Ma. bonneae, Ma. annulifera, Ma. annulata, Ma. dives, Ma. nigerimus), Anopheles (An. nigerimus, An. subpictus, An. barbirostris, An. aconitus, An. vagus, An. dives, An. maculatus, An. farauti, An. koliensis, An. punctulatus, An. bancrofti), Culex (Cx. quinquefasciatus, Cx. annulirostris, Cx. whitmorei, Cx.bitaeniorhynchus), Aedes (Ae. subaltabus) dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis.
Sepuluh nyamuk Anopheles diidentifikasi sebagai vektor W. bancrofti tipe pedesaan. Cx. quinquefasciatus merupakan vektor W. bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor B. malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan An. barbirostris merupakan vektor filariasis yang penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor B. malayi tipe sub periodik nokturna. An. barbirostris merupakan vektor penting terhadap B. timori yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan.
4.         Gejala Klinis
Manifestasi dini penyakit ini adalah peradangan, Sedangkan bila sudah lanjut akan menimbulkan gejala obstruktif.Karena filariasis brancrofti dapat berlangsung selama beberapa tahun.Maka ia dapat mempunyai perputaran klinis yang berbeda-beda.Reaksi pada manusia terhadap filaria berbeda-beda tidak mungkin stadium ini dibatasi dengan pasti,sehingga seringkali kita membaginya atas dasar akibat infeksi filarial yaitu :
a.         Bentuk Tanpa gejala
Umumnya didaerah endemik. Pada pemeriksaan darah ditemukan mikrofilaria dalam jumlah besar disertai adanya eosinofilia. Pada waktu cacing dewasa mati,microfilaria menghilang tanpa pasien menyadari adanya infeksi
b.        Filariasis dengan peradangan
Biasanya terlihat diawal infeksi pada mereka dengan infeksi primer adalah limfangitis,demam,menggigil,sakit kerpala,muntah,dan kelemahan menyertai serangan tadi selama beberapa hari sampai beberapa minggu
c.         Fialriasis dengan penyumbatan
dalam stadium yang menahun ini terjadi jaringan granulasi yang proliferative serta terbentuk varises saluran limfe yang luas. Kadar protein yang tinggi dalam saluran limfe merangsang pembentukan jaringan ikat dan kolagen.sedikit demi sedikit setelah bertahun-tahun bagian yang membesar menjadi luas dan timbul elephantiasis menahun
limfadema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai.limfadema tungkai ini dapat dibagi dalam 4 tingkat yaitu:
1)        Tingkat 1 : edema pitting pada tungkai yang dapat kembali normal (reversible) bila tungkai diangkat
2)        Tingkat 2 : pitting/non pitting edema yang tidak dapat kembali normal (ireversible) bila tungkai diangkat
3)        Tingkat 3 : Edema non pitting,tidak dapat kembali normal bila tungkai diangkat,kulit menjadi tebal.
4)        Tingkat 4 : Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa kulit (elephantiasis) (Aru dkk, 2006)
Limfedema terbagi dalam 7 stadium tabel menggambarkan akan tanda hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita.Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut :
a)         Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan, lengan dan tungkai.
b)        Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah) dalam satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema.
c)         Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat.
d)        Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh.
e)         Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan penatalaksanaan kasus

Tabel 2.1 Stadium Limfedema/tanda kejadian bengkak, lipatan dan benjolan pada penderita kronis filariasis.
No
Gejala
Stadium 1
Stadium 2
Stadium 3
Stadium 4
Stadium 5
Stadium 6
Stadium 7
1
Bengkak di kaki
Menghilang waktu bangun tidur pagi
Menetap
Menetap
Menetap
Menetap, meluas
Menetap, meluas
Menetap, meluas
2
Lipatan di kulit
Tidak ada
Tidak ada
Dangkal
Dangkal
Dalam kadang dangkal
Dangkal, dalam
Dangkal, dalam
3
Nodul 
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
ada
Kadang kadang
Kadang kadang
Kadang kadang
4
Mossy lesions 
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
ada
Kadang kadang
5
Hambat an berat
Tidak
Tidak 
Tidak 
Tidak 
Tidak 
Tidak 
ya
 Sumber : Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis, Depkes RI 2006.
d.        Gejala dan tanda klinis akut :
1)        Demam berulang ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat
2)        Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak (limfadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
3)        Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal ke arah ujung kaki atau lengan
4)        Abses filaria terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan dapat mengeluarkan darah serta nanah
5)        Pembesaran tungkai, lengan, buah dada dan alat kelamin perempuan dan laki-laki yang tampak kemerahan dan terasa panas.
e.         Gejala dan tanda klinis kronis :
1)        Limfedema : Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan, skrotum, penis,vulva vagina dan payudara, Infeksi Brugia dapat mengenai kaki dan lengan dibawah lutut / siku
2)        lutut dan siku masih normal
3)        Hidrokel : Pelebaran kantung buah zakar yang berisi cairan limfe, dapat sebagai indikator endemisitas filariasis bancrofti
4)        Kiluria : Kencing seperti susu kebocoran sel limfe di ginjal, jarang ditemukan(Aru dkk, 2006)
5.         Rantai Penularan Filariasis
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu 4
a.         Sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya.
b.        Vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis.
c.         Manusia yang rentan terhadap filariasis
Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 = L3). Pada saat nyamuk infektif menggiggit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang tusukan nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan penularan pada malaria dan demam berdarah, seseorang dapat terinfeksi filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif ribuan kali, sedangkan pada penularan malaria dan demam berdarah seseorang akan sakit dengan sekali gigitan nyamuk yang infektif
Di samping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.
 Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk, sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi ekstrinsik untuk W. bancrofti antara 10-14 hari, sedangkan  B. malayi dan  B. timori antara 8-10 hari. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit  nyamuk berpengaruh terhadap risiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari. Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik, penularan terjadi siang dan malam hari. Khusus untuk B. malayi tipe sub periodik dan non periodik nyamuk  Mansonia menggigit manusia atau kucing, kera yang mengandung mikrofilaria dalam darah tepi, maka mikrofilaria masuk kedalam lambung nyamuk menjadi larva infektif
Di samping faktor-faktor tersebut, mobilitas penduduk dari daerah endemis filariasis ke daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya penyebaran filariasis antar daerah. (Depkes, 2006)
B.       Faktor Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis B. malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis W. bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Cx. quinquefasciatus. Sedangkan daerah endemis W. bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis B. malayi.
1.         Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi, suhu, kelembaban dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk.
Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes reservoir (kera, lutung dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran B. malayi sub periodik nokturna dan non periodik.
a)    Suhu udara
Suhu udara berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Menurut Mintarsih (1993), suhu udara yang optimum bagi kehidupan nyamuk berkisar antara 25-30o
b)   Kelembaban udara
Kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit, istirahat, dan lain-lain dari nyamuk. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan.
c)    Angin
Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau keluar rumah, adalah salah satu faktor yang ikut menentukan jumlah kontak antara manusia dengan nyamuk. Jarak terbang nyamuk (flight range) dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung kepada arah angin. Jarak terbang nyamuk Anopheles adalah terbatas biasanya tidak lebih dari 2-3 km dari tempat perindukannya. Bila ada angin yang kuat nyamuk Anopheles bisa terbawa sampai 30 km.
d)   Hujan
Hujan berhubungan dengan perkembangan larva nyamuk menjadi bentuk dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan jenis vektor dan jenis tempat perkembangbiakan (breeding place).
e)    Sinar matahari
Sinar matahari memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada spesies nyamuk. Nyamuk An. aconitus lebih menyukai tempat untuk berkembang biak dalam air yang ada sinar matahari dan adanya peneduh. Spesies lain tidak menyukai air dengan sinar matahari yang cukup tetapi lebih menyukai tempat yang rindang, Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An. sundaicus lebih suka tempat yang teduh, An. hyrcanus spp dan An. punctulatus spp lebih menyukai tempat yang terbuka, dan An. barbirostris dapat hidup baik di tempat teduh maupun yang terang.
f)    Arus air
An. barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis / mengalir lambat, sedangkan An. minimus menyukai aliran air yang deras dan An. letifer menyukai air tergenang. An. maculatus berkembang biak pada genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau berhenti. Beberapa spesies mampu untuk berkembang biak di air tawar dan air asin seperti dilaporkan di Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur, NTT bahwa An. subpictus air payau ternyata di laboratorium mampu bertelur dan berkembang biak sampai menjadi nyamuk dewasa di air tawar seperti nyamuk Anopheles lainnya.
g)   Tempat perkembangbiakan nyamuk
Tempat perkembangbiakan nyamuk adalah genangan-genangan air, baik air tawar maupun air payau, tergantung dari jenis nyamuknya. Air ini tidak boleh tercemar harus selalu berhubungan dengan tanah. Berdasarkan ukuran, lamanya air (genangan air tetap atau sementara) dan macam tempat air, klasifikasi genangan air dibedakan atas genangan air besar dan genangan air kecil.
2.         Lingkungan Biologik
Lingkungan biologik dapat menjadi faktor pendukung terjadinya penularan filariasis. Contoh lingkungan biologik adalah adanya tanaman air, genangan air, rawa-rawa, dan semak-semak sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia spp. Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak jauh dari rumah, hal ini tergantung pada kesukaan menggigit nyamuknya.Telur Mansonia ditemukan melekat pada permukaan bawah daun tumbuhan inang dalam bentuk kelompok yang terdiri dari 10-16 butir.
Telurnya berbentuk lonjong dengan salah satu ujungnya meruncing. Lalu, larva dan pupanya melekat pada akar atau batang tumbuhan air dengan menggunakan alat kaitnya. Alat kait tersebut, kalau pada larva terdapat pada ujung siphon, sedangkan pada pupa ditemukan pada terompet. Sehingga, dengan alat kait itu, baik siphon maupun terompet dapat berhubungan langsung dengan udara (Oksigen) yang ada di jaringan udara tumbuhan air. Keberadaan tumbuhan air mutlak diperlukan bagi kehidupan nyamuk Mansonia, dan kita tahu bersama kalau spesies nyamuk ini merupakan salah satu vektor penularan dari penyakit kaki gajah. Adapun tumbuhan air yang dijadikan sebagai inang Mansonia sp., antara lain eceng gondok, kayambang, dan lainnya.
Akhirnya, untuk memberantas dan memutuskan penularan penyakit filariasis ini, selain melakukan pengobatan pada penderita juga perlu dilakukan pemberantasan vektor penyakitnya. Caranya, bisa dengan menggunakan herbisida yang mematikan tumbuhan inangnya. Atau bisa juga secara mekanis melakukan pembersihan perairan dari tumbuhan air yang dijadikan inang oleh nyamuk Mansonia sp.
3.         Lingkungan Kimia
Dari lingkungan ini yang baru diketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari tempat perkembangbiakan. Sebagai contoh An. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12 – 18% dan tidak dapat berkembang biak pada kadar garam 40% ke atas, meskipun di beberapa tempat di Sumatera Utara An. sundaicus sudah ditemukan pula dalam air tawar. An. letifer dapat hidup ditempat yang asam/ph rendah.
C.       Faktor Perilaku
Perilaku  atau  kebiasaan  yang  kurang  disadari  oleh  sebagian besar masyarakat  bahwa  perilaku mendukung  penularan  filariasis. misalnya  kebiasaan  sering  keluar  rumah  pada malam  hari  hingga  pukul  22.00  untuk  berkumpul  di  warung  atau  menonton  televisi  di rumah  tetangga.  Kebiasaan  tersebut  menyebabkan  penduduk  rentan  untuk  mendapat gigitan  nyamuk  Mansonia  uniformis  karena  hasil  pengamatan  terhadap  nyamuk  Ma. uniformis menunjukkan bahwa puncak  kepadatan di  luar  rumah  yaitu pukul 19.00-21.00. Ma.  uniformis  telah  dikonfirmasi  sebagai  satu  di  antara  jenis  nyamuk  yang  berperan sebagai penular filariasis di Kota Pekalongan. Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insidens filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya.
1.         Kebiasaan keluar rumah
Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Menurut hasil penelitian Kadarusman (2003) diketahui bahwa kebiasaan keluar pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis
2.         Pemakaian kelambu
Pemakaian kelambu sangat efektif dan berguna untuk mencegah kontak dengan nyamuk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ansyari (2004) menyatakan bahwa kebiasaan tidak menggunakan kelambu waktu tidur sebagai faktor resiko kejadian filariasis
3.         Obat anti nyamuk
Kegiatan ini hampir seluruhnya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat seperti berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor (mengurangi kontak dengan vektor) misalnya menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk bakar, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, atau dengan cara memberantas nyamuk. Menurut Astri (2006) diketahui bahwa kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis

4.         Keadaan dinding
Keadaan rumah, khususnya dinding rumah berhubungan dengan kegiatan penyemprotan rumah (indoor residual spraying) karena insektisida yang disemprotkan ke dinding akan menyerap ke dinding rumah sehingga saat nyamuk hinggap akan mati akibat kontak dengan insektisida tersebut. Dinding rumah yang terbuat dari kayu memungkinkan lebih banyak lagi lubang untuk masuknya nyamuk.
5.         Pendidikan
Tingkat pendidikan sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap kejadian filaria tetapi umumnya mempengaruhi jenis pekerjaan dan perilaku kesehatan seseorang.
6.         Pemasangan kawat kasa
Pemasangan kawat kasa pada ventilasi akan menyebabkan semakin kecilnya kontak nyamuk yang berada di luar rumah dengan penghuni rumah, dimana nyamuk tidak dapat masuk ke dalam rumah. Menurut Arsyad (1995) penggunaan kasa pada ventilasi dapat mengurangi kontak antara nyamuk Anopheles dan manusia.
D.      Faktor pekerjaan
Pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam nyamuk mencari darah dapat berisiko untuk terkena filariasis, diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis. Menurut Astri (2006) diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis





















A.    Kerangka teori
Lingkungan







Perilaku
Pekerjaan
Vektor  Filariasis
Kejadian Filariasis
 




                                                           
                                                                                                             
                                                Gambar 2.2 skema kerangka teori                                  Sumber (Aru dkk 2006,  Arief dkk 1999,  Depkes 2006, Arikunto 2006,  notoatmodjo 2005,  Nasrin 2008)








BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Kerangka Konsep
Faktor resiko kejadian filariasis
                                      Kejadian Filariasis
                     Vektor
 




: Diteliti
                        : Tidak diteliti
Gambar 3.1
Kerangka konsep hubungan faktor-faktor resiko dengan kejadian Filariasis pada masyarakat nelayan di wilayah kerja Puskesmas Kusuma Bangsa Kota Pekalongan tahun 2011
B.     Hipotesis Penelitian
Hipotesis dapat diartikan sebagai jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penalitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto 2006:73).
Hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Hipotesis nol atau hipotesis nihil (H0)
Tidak ada hubungan antara faktor resiko yang menyebabkan filariasis dengan kejadian   filariasis
  1. Hipotesis kerja atau hipotesis alternatif (Ha)
      Ada hubungan antara faktor resiko yang menyebabkan filariasis dengan kejadian filariasis
C.    Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survey analitik atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena, baik antara faktor resiko dengan faktor efek, antara faktor resiko, maupun antara faktor efek.
Rancangan penelitian yang digunakan dalam peneliti ini adalah cross sectional yaitu suatu penelitian dimana variabel-variabel yang termasuk faktor resiko dan variabel-variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama (Notoatmodjo 2010 : 37).
D.    Populasi dan Sampel
1)      Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono  2006:61).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua warga yang tinggal disekitar penderita filariasis di Rw 14  yang berjumlah 527 warga                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
2)      Sampel
Sampel adalah sebagian obyek yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap memenuhi seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Karena jumah populasi dibawah 10.000, maka besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus :
 


Keterangan :
n   =  Besar sampel
N  =  Besar populasi
d   =  Penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan yaitu sebesar 10%
  atau 0,1.
Sehingga apabila warga yang tinggal disekitar penderita filariasis di Rw 14  yang berjumlah 527 warga, maka :
Jadi jumlah sampel yang didapatkan berdasarkan penghitungan dengan menggunakan rumus tersebut sebanyak 68 responden yang memiliki kriteria sebagai berikut :
a.         Bertempat tinggal disekitar rumah penderita filariasis
b.         Berumur diatas 20 tahun
c.         Mempunyai pekerjaan sebagai nelayan
d.        Masih aktif mencari ikan dikapal
e.         Bisa membaca dan menulis
E.     Variabel penelitian, Definisi operasional dan skala pengukuran
   Variabel adalah obyek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto 2006:116). Variabel dalam penelitian ini terdiri dari veriabel bebas dan veriabel terikat. Variabel bebasnya adalah faktor resiko filariasis sedangkan variabel terikatnya adalah kejadian filariasis.
    Agar dapat melakukan pengukuran variabel dengan baik, maka sebelumnya perlu diberikan definisi operasional variabel dan skala pesngukuran yang digunakan seperti tertera dalam tabel 3.1.
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No
Variabel Penelitian
Definisi Operasional
Parameter
Skala
Hasil ukur

1

Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis

1)        Pekerjaan




2)        Lingkungan



3)        Perilaku

Keadaan  yang dapat  menularkan filariasis


Aktivitas yang dilakukan seseorang yang berkaitan dengan waktu yang beresiko terjadinya penularan filariasis
Kondisi yang ada disekitar obyek penelitian yang beresiko dalam penularan filariasis
Kebiasaan individu yang dapat beresiko dalam penularan filariasis
Benar skor : 1
Salah skor : 0

Kategori :
Baik  : >75%
Cukup : 60-75%
Kurang :  < 60%.

Kategori :
Baik  : >75%
Cukup : 60-75%
Kurang :  < 60%
Kategori :
Baik  : >75%
Cukup : 60-75%
Kurang :  < 60%.
Ordinal








Ordinal



Ordinal

-       Ya
-       Tidak







-       Ya
-       Tidak


-        Ya
-       Tidak









F.    Tempat Penelitian
1.      Lokasi  Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kusuma Bangsa
2.      Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2011
G.    Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data
1.      Alat Penelitian
Alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah daftar pertanyaan dalam bentuk kuesioner. Kuesioner diartikan sebagai daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik (Notoatmodjo 2005:116). Angket atau kuesioner ini digunakan bila responden jumlahnya besar dan dapat membaca dengan baik (Sugiyono, 2006). Kuesioner akan diberikan kepada responden dan diharapkan reponden dapat mengisi jawaban pada lembar jawaban dengan memberikan tanda (√) pada jawaban yang dianggap benar. Kuesioner pada penelitian ini terdiri dari tiga macam, yaitu:
a.       Kuesioner 1 berisi tentang faktor resiko yang berhubungan dengan lingkungan yang ada di wilayah kerja Puskesmas kusuma bangsa
b.      Kuesioner 2 berisi pertanyaan tentang pekerjaan yang dapat beresiko tertular filariasis
c.       Kuesioner 3 berisi pertanyaan tentang perilaku yang dapat beresiko tertular filariasis
2.      Cara pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer dengan menggunakan instrumen penelitian yaitu kuesioner yang dibagikan kepada responden langsung dalam bentuk pertanyaan tertutup untuk mendapatkan jawaban yang kemudian akan diambil datanya untuk dianalisa. Dalam pembagian kuesioner ini peneliti dibantu oleh asisten peneliti yang sebelumnya telah menyamakan persepsi tentang cara pengisian dan pengumpulan kuesioner. Sebelum menyerahkan kuesioner terlebih dahulu peneliti memberikan informasi dan persetujuan yaitu penjelasan tentang cara atau teknik pengisian kuesioner tersebut dan responden mengisi surat persetujuan untuk menjadi responden
Sebelum kuesioner ini digunakan dalam penelitian terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas
a.      Uji Validitas
       Menurut Arikunto (2006:168) validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan. Uji coba instrument dilakukan dengan uji Validitas terhadap 10 responden. Uji validitas dilakukan dengan rumus product moment.
Keterangan :
r                 =  Product moment
X1              =   Skor pernyataan no. 1
X2              =   Skor total
N               =  Jumlah responden untuk menguji instrument
Menurut Arikunto (2006:168), Hasil perhitungan dibandingkan dengan angka kritik Tabel korelasi nilai –r , cara melihat angka kritik dengan melihat baris N-2, jadi kalau jumlah N = 10 maka untuk taraf signifikansi 5% angka kritik adalah 0,632, jika nilai perhitungan diatas taraf signifikansi maka seluruh butir soal adalah signifikan.
Dari hasil uji validitas yang dilakukan kepada 10 responden, semua nilai r yang didapat lebih besar dari 0.632  pada taraf signifikansi 5%, hal ini menunjukkan bahwa  kuesioner yang digunakan peneliti dapat dikatakan valid. Hasil uji validitas dilakukan terhadap 10 responden yang bukan kelompok sampel.
b.      Uji Reliabilitas
      Penguji realibilitas instrument dilakukan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal pengujian dapat dilakukan dengan mengolah hasil pengetesan yang berbeda. Secara internal diperoleh dengan cara menganalisis data dari satu kali hasil pengetesan (Arikunto 2006: 178-180).
Untuk mengetahui bahwa kuesioner tersebut dapat dipercaya sebagai alat pengukur data, maka dilakukan uji reliabilitas dengan rumus Alpa Cronbach sebagai berikut:
r11        =  realibilitas instrument
k          = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
∑σb2 = jumlah varians butir
Σ2t   = varians total
Keputusan uji bila nilai Alpha Cronbach ≥ konstanta (0,6), maka pertanyaan reliabel. Bila nilai Alpha Cronbach < konstanta (0,6), maka pertanyaan tidak reliabel (Riyanto, 2011).
H.    Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data
1.      Pengolahan Data
Menurut Notoatmodjo (2010), pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap sebagai berikut :
a.      Editing
Editing adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para pengumpul data. Tujuannya adalah mengurangi kesalahan atau kekurangan yang ada didaftar pertanyaan.
b.      Coding
Coding adalah mengklasifikasikan jawaban dari para responden ke dalam kategori.
c.       Scoring
Scoring adalah memberikan penilaian terhadap item-item yang perlu diberi penilaian atai skor.
d.      Tabulating
Tabulating adalah pekerjaan membuat tabel. Jawaban-jawaban yang telah diberi kode kemudian dimasukkan kedalam tabel. Langkah terakhir dari penelitian ini adalah melakukan analisa data.
2.      Analisa data
Data dapat dianalisa secara deskriptif maupun analitik.
a.       Analisa Univariat
Menganalisa terhadap tiap variabel dari hasil penelitian.Pada umumnya analisa ini hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010:188). Pada penelitian ini yang dideskriptifkan adalah faktor resiko lingkungan,pekerjaan dan perilaku .Hasilnya akan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi.
Menurut Notoatmodjo, 2003 analisa data yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel.
Prosentase = Jumlah skore yang diperoleh responden X 100%
  Skore maksimal


 


Hasil presentase ditafsirkan dengan kriteria sebagai berikut :
Baik        : Jika didapat >75%
Cukup    : Jika didapat 60-75%
Kurang   : Jika didapat <60%
b.         Analisis Bivariat
X² = ∑{(f0 - fe)²}
fe
Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi.untuk mengetahui hubungan antara variabel digunakan uji statistik “Chai square” dengan pengambilan keputusan sebagai berikut:


Keterangan:
  = chi-square
f0   = frekuensi yang diobservasi
fe   = frekuensi yang diharapkan
   = jumlah seluruh frekuensi
Interpretasi hasil perhitungan chi-square sesuai kriteria adalah sebagai berikut:
1)       Jika nilai p < α = 0,05﴿ maka Ho ditolak, berarti ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.
2)      Jika nilai p ≥ α maka Ho diterima, berarti tidak ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.
c.    Analisa Multivariat
Analisa yang dilakukan terhadap lebih dari dua variabel. Biasanya hubungan antara satu variabel terikat (dependent variables) dengan beberapa variabel bebas (independent variables). (Notoatmodjo, 2005:189)
Analisa multivariat digunakan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dengan kejadian filariasis, melalui analisis regresi logistik berganda (Multiple Logistic Regression) untuk mencari faktor risiko yang paling dominan terhadap kejadian filariasis. Analisis multivariat dilakukan untuk beberapa variabel yang secara bersama-sama berhubungan dengan kejadian filariasis. Tahapan analisis multivariat yang akan digunakan adalah sebagai berikut :
1.      Melakukan analisis pada model univariat pada setiap variabel dengan tujuan untuk mengestimasi peranan masing-masing variabel
2.      Melakukan pemilahan variabel yang potensial untuk dimasukkan dalam model. Variabel yang dipilih atau yang dianggap signifikan adalah variable yang mempunyai nilai p kurang dari 0,05 (p<0,05)
3.      Penentuan faktor-faktor resiko kejadian filariasis, variabel yang akan dimasukkan adalah variabel yang mempunyai nilai p kurang dari 0,05
Dalam penelitian ini ada 3 (tiga) variabel yang diduga berhubungan dengan kejadian filariasis yaitu lingkungan, perilaku, pekerjaan.
I.       Etika Penelitian
Menurut Alimul H.(2003), masalah etika dalam penelitian merupakan masalah yang sangat penting sehingga perlu dijelaskan beberapa hal,  antara lain :
1.      Informed Consent
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan (informed concent), infomed concent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed concent adalah agar subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya,  jika responden bersedia maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan dan jika responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak responden.
2.      Anonimity (tanpa nama)
Merupakan masalah etika dalam penelitian dengan cara tidak memberikan nama responden pada lembar alat ukur hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.
3.      Kerahasian (Confidentiality)
Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik informasi maupun masalah-masalah lainnya,  semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasian oleh peneliti,  hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.      Hasil Penelitian
1.         Gambaran Umum Wilayah Puskesmas Kusuma Bangsa
Puskesmas Kusuma Bangsa berlokasi di Kota Pekalongan Kecamatan Pekalongan Utara yang merupakan salah satu puskesmas dari 10 puskesmas di Kota Pekalongan. Wilayah Puskesmas Kusuma Bangsa berada di dataran rendah dimana sebagian besar wilayahnya adalah wilayah pesisir pantai utara (laut jawa) dimana sebagian besar berupa dataran dengan luas wilayah 1.488 Km2, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah timur berbatasan dengan wilayah krapyak
Sebelah selatan berbatasan dengan desa panjang wetan
Sebelah barat berbatasan dengan  kecamatan kandang panjang
Sebelah utara berbatasan dengan laut jawa
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kusuma Bangsa Kota Pekalongan tahun 2011 sebesar 71.753  jiwa, terdiri dari laki-laki 35.263  jiwa dan wanita 36.490 jiwa dengan kepadatan penduduk 4.822 jiwa/km². Jumlah penduduk tersebar di sepuluh desa yang ada di wilayah kerja Puskesmas Kusuma bangsa.
Fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja puskesmas kusuma bangsa Kota Pekalongan adalah puskesmas indul 1 unit, puskesmas perawatan inap I unit, puskesmas pembantu 4 unit dan rumah sakit 2 unit. Pelayanan kesehatan juga dilakukan dengan puskesmas keliling dan pada posyandu yang ada di masing-masing desa.
Tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Kusuma Bangsa adalah sebagai berikut : Dokter umum 3 orang, Dokter gigi 1 orang, perawat 10 orang, bidan 6 orang, perawat gigi 1 orang, analis kesehatan 2 orang, petugas gizi 1 orang, tata usaha dan lain-lain 12 orang.
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa sarana kesehatan yang ada di wilayah kerja puskesmas kusuma bangsa Kota Pekalongan sudah cukup memadai dan dapat dijangkau oleh seluruh penduduk karena lokasinya juga tersebar di seluruh wilayah Puskesmas Kusuma Bangsa.
Penderita filariasis di wilayah kerja puskesmas kusuma bangsa pada tahun 2011 terdapat 2 penderita kronis yang bertempat tinggal di pinggir aliran sungai dan sebelah rawa-rawa
2.         Hasil Analisis Univariat
1)        Karakteristik responden menurut umur
Tebel 4.1 Distribusi responden menurut umur

Jumlah
Persentase
          20-30
14
19.4
30-40
44
61.1
40-50
10
13.9
Total
68
94.4
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa total responden sebanyak 68 responden sebagian besar yaitu 44 responden atau sekitar 61.1% adalah kelompok umur 30-40 tahun dan hanya sedikit dari responden yang berumur 40-50 tahun yang berjumlah 10 responden atau sekitar 13.9% dan dari kelomp[ok umur 20-30 tahun ada 14 responden atau sekitar 19.4%.
2)        Karakteristik responden menurut tingkat pendidikan
Tabel 4.2 distrbusi responden menuru tingat pendidikan

Jumlah
Persentase
SD
40
55.6
SMP
19
26.4
SMA
9
12.5
Total
68
94.4
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden adalah berpendidikan SD yaitu 40 responden atau sekitar 55.6% dan hanya sedikit yang berpendidikan SMA yaitu 9 responden atau sekitar 12.5 % dan yang berpendidikan SMP sebanyak 19 responden atau sekitar 26.4 %. Masyarakat di wilayah kerja puskesmas kusuma bangsa mayoritas berpenghasilan rendah sehingga banyak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
3.         Hasil Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan dan besarnya nilai odds ratio  antara faktor-faktor resiko dengan kejadian filariasis,  dengan tingkat kemaknaan 95%. Ada atau tidaknya hubungan antara faktor resiko dengan kejadian filariasis ditunjukkan dengan  nilai  p < 0,05
a.         Hubungan Jenis Pekerjaan dengan resiko filariasis
Tabel 4.4 Hubungan Jenis Pekerjaan dengan resiko filariasis

Kategori
Resiko
Total
Beresiko
Tidak beresiko
N
%
Kurang
32
17
49
68.1
Cukup
12
5
17
23.6
Baik
1
1
2
2.8
Total
45
23
68
100%

Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa responden dengan kategori kurang dan beresiko tertular filariasis sebesar 32 responden sedangkan responden dengan kategori kurang tapi tidak beresiko tertular filariasis sebesar 17 responden dan responden dengan kategori cukup dan beresiko tertular filariasis sebesar 12 responden sedangkan responden dengan kategori cukup tapi tidak beresiko tertular filariasis sebesar 5 responden kemudian responden dengan kategori baik dan beresiko tertular filariasis sebanyak 1 responden atau sekitar 1,4% dan dengan kategori baik tapi tidak beresiko tertular filariasis sebanyak 1 responden atau sekitar 1,4%.
Hasil uji korelasi Chi Square diperoleh nilai X2 hitung 9,332 dan p value 0,002, berdasarkan level signifikan 0.05 dengan df=2 maka nilai X2 tabel adalah 5,991, hal ini menunjukkan bahwa X2 hitung lebih besar dari X2 tabel (9,332>5,991) dan p value lebih kecil dari α (0,007<0,05) yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima artinya hubungan antara pekerjaan dengan resiko tertular filariasis
b.        Hubungan lingkungan dengan resiko filariasis
Tabel 4.5 Hubungan lingkungan dengan resiko filariasis
Kategori
Resiko
Total
Beresiko
Tidak beresiko
N
%
Kurang
40
17
57
79,2
Cukup
4
6
10
13,9
Baik
1
0
1
1,4
Total
45
23
68
100%

Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa responden dengan kategori lingkungan yang kurang dan beresiko tertular filariasis sebesar 40 responden sedangkan responden dengan kategori kurang tapi tidak beresiko tertular filariasis sebesar 17 responden dan responden dengan kategori cukup dan beresiko tertular filariasis sebesar 4 responden sedangkan responden dengan kategori cukup tapi tidak beresiko tertular filariasis sebesar 6 responden kemudian responden dengan kategori baik dan beresiko tertular filariasis sebanyak 1 responden atau sekitar 1,4% .
Hasil uji korelasi Chi Square diperoleh nilai X2 hitung 8,455 dan p value 0,015, berdasarkan level signifikan 0.05 dengan df=2 maka nilai X2 tabel adalah 5,991, hal ini menunjukkan bahwa X2 hitung lebih besar dari X2 tabel (8,455>5,991) dan p value lebih kecil dari α (0,015<0,05) yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima artinya hubungan antara lingkungan dengan resiko tertular filariasis
c.    Hubungan perilaku dengan resiko filariasis
Tabel 4.6 Hubungan perilaku dengan resiko filariasis
Kategori
Resiko
Total
Beresiko
Tidak beresiko
N
%
Kurang
31
12
43
59,7
Cukup
10
11
21
29,2
Baik
4
0
4
5,6
Total
45
23
68
100%

Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa responden dengan kategori perilaku yang kurang dan beresiko tertular filariasis sebesar 31 responden sedangkan responden dengan kategori kurang tapi tidak beresiko tertular filariasis sebesar 12 responden dan responden dengan kategori cukup dan beresiko tertular filariasis sebesar 10 responden sedangkan responden dengan kategori cukup tapi tidak beresiko tertular filariasis sebesar 11 responden kemudian responden dengan kategori baik dan beresiko tertular filariasis sebanyak 4 responden atau sekitar  5,6%
Hasil uji korelasi Chi Square diperoleh nilai X2 hitung 7,038 dan p value 0,009, berdasarkan level signifikan 0.05 dengan df=2 maka nilai X2 tabel adalah 5,991, hal ini menunjukkan bahwa X2 hitung lebih besar dari X2 tabel (7,038>5,991) dan p value lebih kecil dari α (0,009<0,05) yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima artinya hubungan antara perilaku dengan resiko tertular filariasis
4.         Hasil Analisis Multivariat
Analisis multivariat bertujuan untuk melihat beberapa variabel yang secara bersama-sama berhubungan dengan kejadian filariasis. Dari uji chi-square ternyata semua variabel memiliki nilai p<0,05. Ketiga variabel potensial sebagai faktor resiko kejadian filariasis diatas, selanjutnya dilakukan analisis secara multivariat menggunakan regresi logistik.
Tabel 4.7 Identifikasi Faktor Resiko Dominan
No
Variabel
B
OR ajusted
P Value

95.0% C.I.for EXP(B)
Lower
Upper
1
Pekerjaan
.032
1.032
0,07
.386
2.758
2
Lingkungan
.699
2.011
0,015
.623
6.494
3
Perilaku
.220
1.246
0.023
.543
2.861

Dari persamaan regresi diatas dapat diketahui bahwa pekerjaan, lingkungan, perilaku akan menyebabkan kejadian filariasis. Variabel dengan Odds Ratio terbesar merupakan variabel yang paling dominan terhadap kejadian filariasis yaitu lingkungan dengan OR 2.011, CI=623-6.494
B.       Pembahasan
Berdasarkan hasil dari pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner terhadap responden maka dapat diketahui data, frekuensi dan presentase yang dapat dijadikan bahan analisis untuk pembahasan terhadap hasil yang sudah dilaksanakan.
Pada penelitian ini diperoleh 68 responden yang memenuhi syarat. Dari hasil yang didapatkan, kebanyakan responden berumur 30-40 tahun yaitu 44 responden atau sekitar 61.1 %,
1.         Faktor pekerjaan
Pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam nyamuk mencari darah dapat berisiko untuk terkena filariasis, diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis. Menurut Astri (2006) diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasisJenis Pekerjaan, dapat dinyatakan bahwa ada hubungan terhadap kejadian filariasis, seperti terlihat pada tabel 4.3,  Hal ini dapat dijelaskan jenis pekerjaan nelayan lebih sering menginap di kapal dari pada dirumah, hal ini akan lebih meningkatkan frekuensi terjadinya kontak responden dengan nyamuk, dengan kata lain seseorang yang bermalam dikapal akan sering digigit oleh nyamuk, mengingat mereka yang bermalam dikapal hanya menggunakan peralatan seadanya.
 Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diperoleh informasi bahwa mereka terkadang hanya melindungi diri dari gigitan nyamuk dengan memnggunakan sarung. Hasil penelitian ini sangat sesuai dengan kondisi lapangan yaitu 32 responden atau sekitar  43,7% yang bekerja sebagai nelayan, karena pekerja yang bermalam dikapal frekuensi gigitan nyamuk lebih banyak dibandingkan dengan orang yang bermalam dirumah. Sebagaimana diketahui bahwa nyamuk Mansonia mempunyai aktifitas menggigit pada malam hari, yaitu pada mulai matahari terbenam hingga matahari terbit.
Biasanya pekerjaan akan membuat seseorang berinteraksi dengan lingkungan. Pola dan perilaku seseorang dalam berinteraksi ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, karena pendidikan merupakan tingkat kemampuan seseorang dalam beradaptasi dengan lingkungan,perilaku dan pekerjaannya. Terkadang dalam dunia pekerjaan baik formal maupun nonformal tinggi tingkat pendidikan menjadi landasan dalam menetapkan jenis pekerjaan seseorang, walaupun pada kenyataannya tidak semua tingkat pendidikan itu menjamin pekerjaan akan baik dan tidak berisiko, akan tetapi indikator ini masih dapat diterima. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan bahwa jenis pekerjaan responden kelompok kasus rata-rata memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu sebanyak 40 responden atau sekitar 55.6%.
Dengan kondisi inilah kejadian filariasis di wilayah kerja puskesmas kusuma bangsa masih merupakan permasalahan kesehatan, dimana pada umumnya nyamuk mempunyai aktivitas meggigit pada malam hari,  Anopheles sp, Culex sp dan Mansonia sp. Hanya sebagian kecil yang aktif menggigit pada siang hari, misal: Aedes aegypti dan Aedes alpopictus. Berdasarkan waktu menggigit beberapa jenis nyamuk mempunyai aktivitas pada permulaan malam, sesudah matahari terbenam sampai dengan matahari terbit. Sebagian besar nyamuk mempunyai dua puncak aktivitas  pada malam hari, puncak aktivitas menggigit pertama terjadi sebelum tengah malam dan puncak kedua menjelang pagi hari. Berdasarkan hasil penelitian pada variabel tingkat pendidikan di wilayah kerja puskesmas kusuma bangsa memprediksikan bahwa pada seseorang yang memiliki tingkat pendidikan rendah akan beresiko terkena filariasis. dibandingkan dengan responden yang berpendidikan tinggi. Karena mayoritas yang berpendidikan rendah bekerja sebagai nelayan
2.         Faktor Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis B. malayi adalah daerah sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis W. bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Cx. quinquefasciatus. Sedangkan daerah endemis W. bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis B. malayi
 Pada lingkungan di wilayah kerja puskesmas kusuma bangsa merupakan lingkungan yang kotor, Masyarakat di daerah itu bertempat tinggal di pinggir sungai dan diatas got sedangkan vektor filariasis merupakan nyamuk yang senang dengan lingkungan yang kotor. Peresapan tanah di wilayah kerja puskesmas kusuma bangsa tergolong rendah sehingga mengakibatkan genangan air akan bertahan lebih lama. Pada saluran limbah industri rumah tangga dan irigasi masih banyak ditemukan sampah menumpuk yang mengakibatkan air sulit mengalir. Kondisi lingkungan sebagaimana tersebut diatas sangat disukai sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk penular filariasis. Saat pasang air laut daerah ini banjir dan ada genangan air yang muncul yang sering untuk tempat perkembangbiakan nyamuk                                    
Keadaan lingkungan disekitar rumah dan didalam rumah juga mendukung untuk terkena resiko filariasis. Keberadaan kandang ternak didekat rumah mempunyai dampak yang besar untuk tertular filariasis. Kandang ternak mempunyai temperature dan kelembaban ideal untuk nyamuk vektor filariasis berkembang biak maka secara langsung juga akan meningkatkan resiko untuk tertular filariasis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terdapat 40 responden dengan lingkungan yang dikategorikan kurang dan beresiko tertular filariasis dan hanya 1 responden atau sekitar 1,4% yang dikategorikan lingkungan yang baik namun masih memiliki resiko tertular filariasis
3.         Faktor Perilaku
Perilaku  atau  kebiasaan  yang  kurang  disadari  oleh  sebagian besar masyarakat  bahwa  perilaku mendukung  penularan  filariasis. misalnya  kebiasaan  sering  keluar  rumah  pada malam  hari  hingga  pukul  22.00  untuk  berkumpul  di  warung  atau  menonton  televisi  di rumah  tetangga.  Kebiasaan  tersebut  menyebabkan  penduduk  rentan  untuk  mendapat gigitan  nyamuk  Mansonia  uniformis  karena  hasil  pengamatan  terhadap  nyamuk  Ma. uniformis menunjukkan bahwa puncak  kepadatan di  luar  rumah  yaitu pukul 19.00-21.00. Ma.  uniformis  telah  dikonfirmasi  sebagai  satu  di  antara  jenis  nyamuk  yang  berperan sebagai penular filariasis di Kota Pekalongan.
Responden yang memasang kasa pada ventilasi rumah mempunyai perlindungan dari resiko tertular filariasis dibandingkan mereka yang tidak memakai kasa pada ventilasi rumahnya. Keadaan ini tentu bertolak belakang apabila dibandingkan dengan penggunaan kelambu untuk proteksi dari resiko tertular filariasis. Pemakaian kelambu kurang mendapat perhatian dari masyarakat setempat selain hanya sedikit orang yang menggunakan, sebagian besar menolak dengan berbagai alasan antara lain tempat tidur seakan menjadi sempit dan panas, tidak terbiasa dan harga yang mahal jika harus membeli sendiri. Keadaan ini didukung dengan persepsi bahwa filariasis bukan penyakit berbahaya yang dapat menimbulkan kematian seperti pada demam berdarah sehingga mereka tidak terlalu risau mengenai penyakit tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan terhadap perilaku penduduk di wilayah kerja puskesmas kusuma bangsa maka dapat diketahui bahwa kebiasaan penduduk menggunakan obat nyamuk,keberadaan kandang ternak dan pemakaian kassa pada ventilasi rumah membawa resiko tertular filariasis yaitu sekitar 43 responden atau sekitar 59,7 % responden dengan kategori perilaku yang kurang dan hanya 4 responden atau sekitar 5,6% yang berperilaku dengan kategori yang baik.
Dari tabel 4.4, 4.5,  4.6 diketahui bahwa ketiga faktor resiko yaitu lingkungan, pekerjaan, perilaku berhubungan dengan kejadian filariasis. Hal ini dibuktikan dengan uji chi-square dari ketiga variabel tersebut yang mendapat p value lebih kecil dari α (0,05). Pada uji square lingkungan mendapat p value 0,015, dan pada pekerjaan mendapat p value 0,007 kemudian perilaku mendapat p value 0,009. Setelah diketahui ketiga variabel resiko berhubungan kemudian dilakukan analisis dengan multivariate untuk mengetahui faktor resiko yang paling dominan dari ketiga faktor.
Berdasarkan analisis multivariate yang dilakukan dengan menggunakan regresi logistic diketahui lingkungan merupakan faktor resiko yang paling dominan. Hal ini dikarenakan dari ketiga variable yang dianalisa, lingkungan mendapat nilai odds ratio terbesar yaitu 2.011 dan CI=623-6.494. dan pekerjaan mendapat odds ratio 1.032 dengan CI=386-2.758 kemudian perilaku mendapat odds ratio 1.246 dengan CI=543-2861.
A.    Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah:
1.         Aspek desain penelitian
Penelitian cross sectional berusaha mempelajari dinamika hubungan atau korelasi antara faktor-faktor resiko dengan dampak atau efeknya. Faktor resiko dan dampak atau efeknya diobservasi pada saat yang sama, artinya setiap subyek penelitian diobservasi hanya satu kali saja dan faktor risiko serta dampak diukur menurut keadaan atau status pada saat observasi.
2.         Aspek penaliti
Penguasaan ilmu dan pengetahuan peneliti tentang filariasis terasa masih banyak kekurangan. Walaupun peneliti telah berusaha untuk memperkaya bacaan melalui kunjungan ke perpustakaan, browsing internet sebelum penelitian ini dimulai dan saat penelitian berlangsung


















BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.      Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Karakteristik responden menurut umur sebagian besar adalah kelompok umur 30-40 tahun yaitu 44 responden atau sekitar 61.1 %.  Menurut pendidikan sebagian responden memperoleh pendidikan sekolah dasar yaitu 40 responden atau sekitar 55.6 %
2.      Dari hasil penelitian diketahui bahwa ketiga faktor resiko yang diteliti terbukti sebagai faktor resiko filariasis yang dibuktikan dengan analisis uji chi-square yang mendapat p value lebih kecil dari α (0,05). Lingkungan dengan α=0,015, pekerjaan dengan α=0,07 dan perilaku 0,09
3.      Dari ketiga faktor resiko faktor yang paling beresiko dalam penularan filariasis di wilayah kerja Puskesmas Kusuma Bangsa adalah lingkungan yang mendapat nilai odds rasio terbesar yaitu 2.011 dengan CI=623-6494



B. Saran
a.         Pihak Puskesmas Kusuma Bangsa  perlu melakukan penyuluhan secara teratur tentang filariasis guna meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang faktor yang dapat beresiko tertular filariasis
b.          Masyarakat  disarankan  menggunakan  kelambu  atau  anti  nyamuk      sewaktu tidur, memakai pelindung diri (baju dan celana panjang, refelent) waktu keluar rumah pada malam hari.
c.         Masyarakat disarankan untuk tidak terlalu sering menginap di kapal dengan peralatan seadanya karena dapat mempertinggi frekuensi kontak dengan nyamuk
d.        Masyarakat diharapkan dapat meminimalkan adanya tanaman air, guna mengurangi  breeding place dan  resting place dengan menggalakkan kegiatan kerja bakti

3 komentar:

  1. min d kasi daftar pustakanya bs dong

    BalasHapus
  2. boleh dikasih daftar pustaknya mas, buku2 apa saja yang digunakan dalam penulisan ini
    terima kasih mas

    BalasHapus
  3. YA DAFTAR PUSTAKA DAN KUESIONERNYA JUGA

    BalasHapus